Rabu, 30 Oktober 2013
Kupu-kupu di Penghujung Kemarau
Menikmati akhir pecan di
penghujung musim kemarau dengan menjajal soto di warung yang terletak di ujung
kampung. Surprise banget saat tau si
empunya warung ternyata mbak Ani, guru ngajiku semasa kecil. Kikuk awalnya
menerima sajian soto dari orang yang sangat kuhormati, namun sikap dan tutur
kata beliau yang ramah nan bersahabat menjadikan obrolan kecil menjadi begitu
hangat. Ternyata satu dekade merantau membuatku tak begitu care dengan sesama warga kampung, dulu begitu hafal nama-nama warga
dari ujung satu ke ujung kampung lainya, aku pasti tau dan mengenalnya. Kini
guru ngajipun aku tak tahu kalau beliau punya rumah dan warung di ujung desa. Karena
warungnya cukup ramai tak banyak pembicaraan di pagi yang membawa kupu-kupu
indah hadir di bumi tercinta.
Begitu mbak ani meninggalkanku dengan
semangkok soto, pikiranku seolah terbang ke masa kecil dulu, masih teringat dengan
jelas saat beliau memarahiku karena sering terlambat. “sak jane dirimu iku
pintar tapi kok ya telat ae kalau ngaji” tak berani kutatap wajah dari pemilik
kalimat itu, sembari menunduk malu lagi takut dalam hati bergumam bahwa aku
terlambat karena harus menggembala kambing punya kakek. Jika bulan agustus tiba
dulu biasa di TPA tempat mengaji dulu
akan di gelar bermacam-macam lomba, mulai dari lomba adzan, hafalan sampai
cerdas cermat dll. Herannya setiap perlombaan yang aku ikuti pasti menjadi
pemenang walau tidak mesti no 1 setidaknya masuk 3 besar. Otomatis hadiah
berupa buku dan peralatan tulis lainya sebagian besar menjadi hakku.
Namun lambat laun aku mengerti,
bahwa kemenangan dalam lomba-lomba tersebut bukan karena kecerdasanku. Nyatanya
sebagian besar teman ngaji dulu saat SMA berhasil masuk di SMA favorit
sedangkan diriku hanya di SMA biasa itupun harus menunggu satu tahun agar
kakakku lulus dulu dari sekolahnya. Ternyata hadiah-hadiah yang kudapat
tersebut diperoleh karena aku tak mampu membeli peralatan baca tulis seperti
teman-teman lainya, karena untuk perlengkapan sekolah saja seringkali kupakai
bekas dari kakak atau tetangga sebelah. Entah bagaimana mbak ani tau keadaan
ekonomiku yang pas-pasan, juga tak tau bagaimana cara ia memenangkanku dalam
perlombaan itu.
Daerah tempat tinggal kami memang
bukan daerah santri, justru dikenal dengan sebutan abangan yang orang umum
mengartikan status islamnya hanya sebatas KTP dan seringkali menjadi joke kelak di hari akhir banyak ktp di
surga tapi orangnya entah dimana. Saat para santri akan lulus dari juz amma
(bukan juz ke 30 dari al quran) tetapi semacam buku iqra kalau sekarang, maklum
karena dulu tidak ada dana untuk membeli buku pengantar anak-anak membaca al
quran. Pilihan terbaik adalah guru ngaji (ustadz/ah) menuliskan contoh di papan
tulis untuk di salin santri dan bergantian membacanya (anak alay sekarang pasti
akan bilang “kacian banget”).
Inisiatif dari mbak ani yang
mengharuskan para santri menabung agar kelak saat dapat membaca al quran kami
juga mampu membelinya. Saat ini mungkin sebagian kita tak butuh nabung sekian
bulan untuk dapat membeli al quran, mungkin juga tidak lebih mahal dari uang
jajan anak SD satu atau dua minggu, tapi masa kecilku dulu berbeda. Al quran
ibarat barang mewah, bagi kami butuh perjuangan untuk memilikinya. Saat tiba
kami dapat mengeja dan membaca al quran para santri penuh harap dan tidak sabar
ingin memegang dan membaca ayat-ayat suci firman Allah dalam kitab yang hanya
dengan menabung tadi dapat terbeli. Pada waktu pembagaian al quran aku tak
seantuisias dan sesemangat teman-teman yang lain, karena sadar tabunganku belum
cukup untuk menebus kitab itu, kalau tidak salah ingat 4 atau 5ribu
kekurangannya.
Mendengar dan melihat riuh ramai
para santri aku terdiam di pojok barisan belakang, ingin rasanya berlari pulang
minta uang ke Ibu di rumah, tapi tak kulakukan karena tahu jangankan uang,
beras untuk di masak sore itu pun belum tentu ada, sedangkan ayah sedang jauh
di kota lain bekerja keras memeras keringat menjemput rejeki. Dan teman
sekaligus tetangga depan rumah sudah berjanji akan meminjamkan kitabnya saat
aku nanti mendapat giliran membaca, jadi kuputuskan bersabar duduk diam agar
tak ada seorangpun tau kalau tabunganku belum lunas. Di tengah kegalauan hati
tiba-tiba seperti mendapat durian runtuh saat namaku di panggil mbak ani untuk
di beri kitab yang sudah lama kuimpikan tersebut. Sengaja kuterima kitab itu
dengan senyum dan tidak memberitahukan kepadanya kalau tabunganku belum lunas
karena takut kalau ketahuan bakal tidak dikasih kitabnya.
Begitu halus dan mulia caramu
menyembunyikan aib kemiskinan salah satu muridmu ini, memberikan sedekah
dibalut hadiah prestasi. Kemulian hati menempatkan tangan di atas lebih baik
dari pada memasang tarif saat membagi ilmu yang akhir-akhir ini santer
terdengar. Karena kemurahan hati itu setelah menerima kitab aku berjanji dalam
hati akan melunasinya, dari uang saku sebesar 100 rupiah itupun seminggu sekali
diberikan orangtuaku saat ada mata pelajaran olah raga, kusimpan baik-baik di
bawah bantal. Di tambah aktif ikut takziah mengantar jenasah yang di pikul aku
selalu berada dekat pada yang menaburkan bunga di sepanjang jalan kearah
kuburan, akan dengan sigap ku ambil recehan yang di tabur dengan bunga.
Ternyata itu pun belum cukup, harus rela bangun lebih pagi untuk mengantar
dagangan nenek ke beberapa warung agar dapat upah.
Sore itu penuh percaya diri walau
dengan uang recehan aku datang lebih awal dari biasanya menunggu mbak ani, dengan
bangga ku sampaikan ini adalah uang kekurangan tabungan kitab yang seharusnya
sudah lunas. Senyum bijak lagi tak ada sinis sedikitpun mbak ani sampaikan
bahwa tabunganku sudah lunas, ada donatur yang telah melunasinya. Seingatku
donatur TPA waktu itu hanya ustadz dan ustadzah, lagi-lagi beliau mengajari
bagaimana memberi tanpa tinggi hati bahkan memuliakan dalam arti memberi ikan
untuk menutup kelaparan kemudian memberi kail untuk mencari ikan dan cukup
sampai di situ.
Menjelang dan pasca lebaran idul
fitri dan idul adha tahun ini situasi pembagian zakat maupun daging kurban nyaris
sama dengan tahun-tahun sebelumnya , ricuh, saling sikut dan (maaf) merendahkan
harkat mustahik (penerima zakat).
Celakanya para muzaki atau para
dermawan yang membagi-bagi zakatnya penuh dengan senyum bangga dan menganggap
hal itu mulia. Barangkali para muzaki
ini termotivasi dari beberapa ustadz yang makin massif menyampaikan pahala dan
keuntungan berzakat (bersedekah), tak bermaksud mendebat hikmah atau manfaat
sedekah itu, bahkan saya juga percaya perihal pahala dan balasan yang berlipat.
Tapi nampaknya kita lupa dengan cara/metode bersedekah tersebut, apakah akan
bermanfaat bagi para mustahik atau bahkan perlahan memutus urat kemandirian
mereka.
Entah trenyuh atau sakit hati
saat melihat mustahik harus antri
begitu panjang bahkan di bawah terik matahari, bahkan ada yang meninggal karena
terinjak, seolah melihat wajahku berada di antara mereka. Apakah akan seperti itu
terus tiap tahun nasib para mustahik? Hal yang hampir sama acapkali terlihat
dalam pembagian Bantuan langsung Sementara Tunai (BLSM), bahkan lebih berat
menerimanya karena nama-nama mereka di
umumkan terpampang nyata di kantor desa setempat dengan judul di bold
besar Warga Miskin yang Mendapat BLSM. Terbayang apakah kepala ini bisa tegak
jika namaku ada di daftar tersebut, apakah uang puluhan atau rausan ribu itu
akan menjadi kail untuk mendapat ikan selanjutnya atau ia malah menjadi pisau
tajam yang akan memutus urat kemandirian?
Bagai bulan merindukan pungguk
memang jika berharap ada khalifah Umar bin khatab hadir di tengah-tengah kita
karena ketaatan dan keimananku amat jauh dibanding umat beliau. Tengah malam
berkeliling kampung memanggul gandum untuk di berikan pada warganya yang tak
mampu. Namun tidak berlebihan kan jika sifat dan karakter mbak ani tadi ada di
di dada dermawan dan pemimpin negeri ini? Jika kita tak mampu satu persatu
mendatangi tetangga kita yang berada di bawah garis kemiskinan karena kesibukan
atau ketidaknyamanan, kenapa tidak kita silaturahmi ke lembaga amil zakat dan
sejenisnya yang bak jamur di musim semi hadir di setiap kota bahkan sampai
kepelosok desa. Mereka sangat mahir menghimpun zakat lengkap dengan hitungan
dan doa keberkahannya. Bahkan sangat tahu di mana mustahik yang masih menjaga kemuliaan/harga diri dengan menjauhkan
diri dari meminta-minta dan memenuhi antrian pembagian zakat.
Jika kita tidak mampu/enggan
bersedekah ada baiknya tidak kita putus urat kemandirian dengan meminta-minta.
Tapi jika ingin mulia dengan bersedekah janganlah kita rendahkan saudara-saudara
mustahik dengan mengumumkan
kemiskinan dan ketidak mampuan mereka. Ada baiknya seperti guru ngajiku mbak
ani, memberi dengan memotifasi bahkan menguatkan untuk terus berjuang menjadi
mandiri dan bukan menjadi ketergantungan.
Seperti kupu-kupu yg datang
bersama musim hujan, ia dulu seeokor ulat rakus memakan apa saja. Bukan hanya
meminta tapi juga merampas. Tapi bahkan seekor ulatpun bisa bersabar dgn
berpuasa/bertapa dgn taubat nasukha. Ia bersabar dalam menjada diri dari
meminta dan memangsa apa saja dan hasilnya dapat kita lihat, kupu-kupu cantik
yg menambah indahnya pergantian musim.
Saat pamit dan membayar makanan
yang di pesan, ingin kusampaikan berjuta terimakasih pada mbak ani sayang bibir
ini kelu hanya bisa bilang sotonya enak, absolutely uenak!!...
Menghilangkan Bulan
Pagi yang tak biasa, kira-kira 15 menit menjelang subuh bagi
sebagian penghuni desa sedang lahap menyantap hidangan sahur, tak ada hujan
maupun angin tiba-tiba mati lampu atau bahasa inggrisnya oglangan. Rumah-rumah
yg biasanya terang akan cahaya lampu Philip kini mendadak gelap gulita tanpa
warna. Ada yang berteriak protes tapi tak sampai mengumpat mungkin karena mau
puasa, tak sedikit juga yg mencari selimut dan kembali tidur selepas sahur
karena pagi itu memang cukup dingin. Kutarik nafas panjang dan perlahan
terhempas halus mengikuti irama malam menjelang subuh, sembari menutup al quran
bibir ini berucap gagal satu juz nya.
Beranjak dari kamar kecil nan gelap berjalan perlahan
merayap berpegangan dinding yg agak dingin mencoba mencari phone cell untuk
sedikit mencari cahaya agar tak terbentur tiang rumah. Nampaknya daya ingat ini
mulai berkurang, belum pikun sudah tua gerutuku dalam hati saat tak juga
kutemukan hape yg baru 2 bulan lalu kubeli. Kuputuskan untuk mencari daun pintu
keluar dan berjalan menuju masjid, lima langkah dari halaman kutengadahkan
wajah dan aku menyesal. Kenapa tadi harus menggerutu, menarik nafas dalam-dalam
seolah ada yang salah saat mati lampu, padahal sejatinya Alloh hendak menunjukkan
kuasanya menciptakan alam raya penuh dengan kesempurnaan karena Ia telah
sempurna pengetahuan dan kuasaNya.
Rembulan terlihat syahdu dua pertiga hampir bulat penuh,
cahayanya putih kekuningan semburat jingga nampak teduh di malam ke 12
Ramadhan. Taburan bintang kerlap-kerlip tak beraturan menjadikanku sulit
melukiskan keindahannya. Mana mungkin otak manusia dapat mencerna langit dan
alam raya yg super sangat indah ini di ciptakan hanya dalam 6 hari jika tanpa
iman di dada. Konon para nelayan di tengah laut dan musyafir di tengah padang
tandus dapat menentukan arah mana jalan pulang hanya dengan memandang bintang
di langit. Ilmu astronomi kata temen kuliah yg jurusan fisika dulu menjelaskan
tanda-tanda alam dilangit yg dapat dijadikan acuan arah, hitungan bulan dan
sebagainya. Maha suci engkau ya Robby dgn segala ciptaanMu.
Hampir saja aku menghilangkan bulan dengan segala keindahanya
hanya karena mati lampu, aku lupa bahwa tak ada se ujung kuku nikmat listrik yg
sejenak di padamkan dibanding dengan malam penuh bintang lengkap dengan
rembulannya. Ampuni hamba dengan segala keluh kesah, astaghfirullah haladzim.
Ku ayunkan kaki penuh syukur menuju rumahmu untuk bersujud sebagai hamba yg
hanya tunduk padamu. Memang tak ada penerangan jalan lagi, namun cahaya bulan
dan bintang sudah dapat membedakan mana jalan mana selokan.
Sesampai di masjid seperti rumah-rumah lain di kampung
masjidpun masih gelap gulita, hanya kulihat bayangan putih sepinggang orang
dewasa, tak terpikir bahwa itu sekelas suster ngesot/kramas dan sejenisnya
karena warna putih tadi ternyata balutan sarung dengan atasan batik sang
Muadzin. Tanpa penerangan sedikitpun
sang muadzin pun mengumandangkan adzan tanpa pengeras suara, layaknya bilal bin
rabah masa ke emasan islam dulu. Dengan penerangan lilin yg dibawa pakde darto
Jamaah subuh pun dimulai, tak lebih 1 shaff jamaah laki-laki sang imampun tetep
bersemangat dengan bacaan fatihah nya. Begitu selesai ayat ke 7 di bacakan
dengan penuh penghayatan dan lantang barisan makmumpun bersuara Aaaaamiiiiiiinn...
entah saking semangatnya atau memang ada angin mampir di masjid lilin sebagai
satu-satunya peneranganpun padam, sungguh indah sekali jamaah subuh pagi itu.
Tidak seperti biasanya jika selesai sholat ada kuliah subuh,
kali ini tak ada yg berdiri depan mimbar entah karena tidak ada pengeras suara
atau karena dosen kuliah subuhnya jadi malas akibat jamaahnya sedikit. Dengan
menahan dingin semilir angin pagi kususuri jalan pulang, berjalan di kegelapan
sendiri melambungkan anganku semasa kanak-kanak dulu. Yaa masa kecil dulu ikut
ngaji di masjid selepas maghrib, waktu belum ada listrik masuk desa, jalan
masih batu macadam dan tanganku tak pernah lepas dari teman yg membawa obor
untuk jalan pulang karena takut gelap.
Anehnya justru di usia yg tak lagi muda malah suka di
kegelapan, entah sebagai pelarian dalam kesendirian atau bersembunyi dari
kenyataan. Atau bisa jadi di kegelapan dapat menikmati indahnya bintang yg tak
terhingga jumlahnya, seperti keinginan manusia jika di turuti takkan ada
habisnya.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)